Mataram -- Apriadi Abdi Negara selaku ketua Aliansi Pemuda Pemerhati Penegakan Hukum Nusa Tenggara Barat (APPPH NTB) ingin mengingatkan pada teman-teman jasa penagihan Hutang (Debt Collector) untuk berpedoman pada putusan MK Nomor 57/PUU-XIX/2021 dan Tidak ada perbedaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi setelah Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 sehingga dengan adanya putusan ini menimbulkan kepastian hukum terhadap dalam Pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 beserta mengikat juga pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimana Menyatakan frasa pihak yang berwenang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai pengadilan negeri.
Yang dimana Pada prinsipnya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah memberikan alternatif (pilihan) jika dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia apabila berkenaan dengan cedera janji oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur masih belum diakui oleh debitur adanya cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda (kendaraan Bermotor) yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (Debitur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri secara paksa, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.
“Dengan Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi maka eksekusi terhadap barang jaminan fidusia melalui cara lelang sebagaimana ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang mengkategorikan Lelang Eksekusi Jaminan Fidusia sebagai salah satu dari jenis Lelang Eksekusi, dan sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan jenis Lelang Eksekusi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas I yang notabene hanya terdapat pada KPKNL,” jelas Apriadi kepada Media, Minggu (05/06/2022).
Selanjutnya untuk diketahui oleh masyarakat Bahwa Debt Collector atau penagih hutang harus memiliki sertifikasi profesi sebagaimana diatur dalam pasal 48 ayat 1 POJK nomor 35 tahun 2018 menyatakan bahwa perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur terhadap Ketentuan terkait kerja sama penagihan tersebut tertuang dalam pasal 48 ayat 3 huruf C untuk menunjukkan sertifikasi profesinya saat melakukan tugas tagihan kepada debitur.
“Sehingga dalam uraian diatas AP3H NTB dalam waktu dekat akan melakukan Audiensi atau Hearing ke POLDA NTB menyampaikan data perusahaan jasa penagihan hutang berdasarkan hasil investigasi dan aduan masyarakat yang sering bermasalah hukum karena masih marak melakukan eksekusi objek fidusia tanpa Surat Kuasa yang SAH dan dilakukan secara tidak sukarela dan tanpa putusan pengadilan yang salah,” tegasnya.
Satu contoh hasil investigasi kami di wilayah kota Mataram pada hari Jumat kemarin oknum debt collector inisial M dengan ciri-ciri berambut botak, berbadan tinggi dengan mekanisme dugaan tipu muslihat atau membohongi pemegang kendaraan seolah mengaku dari pihak salah satu perusahaan pembiyaan tanpa disertai Surat Kuasa dan surat Tugas yang tidak legal atau tidak SAH sesuai aturan hukum untuk menarik kendaraan yang selanjutnya Oknum Debt Collector tersebut ada dugaan pemerasan dengan meminta sebuah dana untuk melepaskan kendaraan.
“Sehingga perbuatan tersebut harus di atensi aparat penegak hukum (Kepolisian) untuk melindungi masyarakat dan memberikan kepastian hukum atasan Putusan Mahkamah Konstitusi dan OJK NTB harus turut serta mengawasi Oknum Debt Collector yang tidak memiliki sertifikasi dari PT.Sertfikasi Profesi Pembiayaan Indonesia.” Pungkasnya. (SR).